Daya tarik kisah lama bagi para pendaki baru di Gunung Hantu Papua Nugini

[ad_1]

Jalur Kokoda di Papua Nugini (PNG), yang membentang dari Port Moresby di selatan hingga Desa Kokoda di utara, menarik minat para penggemar sejarah Perang Dunia II maupun para pendaki petualang. Jalur sepanjang 96 kilometer ini, yang pertama kali dibuat oleh para penambang emas pada 1890-an, menjadi lokasi pertempuran sengit Australia melawan pasukan Jepang yang bergerak maju dari pesisir utara. Menurut Museum Nasional Australia, perang Kokoda menandai “titik krusial dalam menghentikan laju Jepang melintasi Pasifik menuju Australia.” Namun, sekitar 50 kilometer di tenggara Jalur Kokoda terdapat juga Jalur Gunung Hantu yang jauh lebih panjang dan lebih menantang di PNG—juga dikenal sebagai Jalur Kapa Kapa—rute masa perang yang sama dramatisnya tetapi sebagian besar terlupakan.

Jalur Gunung Hantu ini membentang melintasi Pegunungan Owen Stanley dari Desa Gabagaba di pesisir selatan PNG hingga Jaure di Provinsi Oro. Dijuluki “Kapa Kapa” oleh tentara AS—setelah salah mengucapkan Gabagaba—jalur sepanjang 209 kilometer ini menanjak hingga ketinggian 2.700 meter menembus hutan hujan lebat sebelum menurun ke padang rumput terbuka di Dataran Tinggi Managalas.

Pada Oktober 1942, lebih dari 900 tentara AS dari Divisi ke-32 berangkat melintasi pegunungan itu dalam upaya untuk mengepung pasukan Jepang di Jalur Kokoda. Apa yang terbentuk selanjutnya adalah salah satu jalur tersulit dalam Perang Pasifik. Peneliti dan sejarawan militer Samuel Milner kemudian menggambarkan jalur tersebut sebagai rangkaian “pegunungan runcing” yang begitu terjal sehingga para prajurit harus memanjat dengan tangan dan lutut, membuat pijakan di lereng dengan parang dan kapak. Milner menulis dalam bukunya yang terbit pada tahun 1957, Victory in Papua:

   Trekkers follow a riverbed through dense rainforest on Papua New Guinea’s Ghost Mountain Trail, 2016. Photo by Peter Gamgee

   Trekkers wade through a rocky stream deep in Papua New Guinea’s rainforest along the Ghost Mountain Trail, 2016. Photo by Peter Gamgee

“Punggung-punggung gunung yang amat besar, atau ‘pegunungan runcing’, silih berganti bagaikan gigi-gigi gergaji. Biasanya, satu-satunya cara pasukan dapat mendaki punggung-punggung gunung ini, yang lebih curam daripada daerah lainnya di sepanjang Jalur Kokoda, adalah dengan berlutut atau dengan membuat anak tangga menggunakan kapak dan parang. Untuk beristirahat, para prajurit mencondongkan tubuh ke depan, berpegangan pada tanaman merambat dan akar agar tidak terpeleset di lereng gunung itu.”

Perjalanan 42 hari itu sangat berat bagi tubuh para prajurit. Perjalanan itu membuat para prajurit menderita malaria, demam berdarah, tifus, disentri, dan infeksi penyakit kulit. Untuk kamuflase yang lebih baik di hutan, seragam khaki mereka diwarnai hijau—namun pewarna tersebut justru menutup rapat kain, memerangkap panas dan kelembapan, serta menyebabkan luka dan infeksi yang menyakitkan. Sepatu bot rusak, obat-obatan hancur dalam hujan yang terus-menerus, dan ransel kanvas tak pernah kering.

Black-and-white photo of US soldiers driving a jeep over a rough log bridge across a river on the Kapa Kapa (Ghost Mountain) Trail in Papua New Guinea during World War II, September 1942.

Pasukan AS mengendarai jip melintasi jembatan darurat dari batang kayu di Jalur Kapa Kapa (Pegunungan Hantu), September 1942. Foto oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat.

Mereka melewati sungai sedalam pinggang dan menyusuri jalan setapak yang berupa saluran lumpur sedalam pinggang. Separuh waktu, mereka tak bisa melihat langit—hanya dedaunan dan tanaman merambat yang kusut. Butuh waktu lima atau enam jam untuk menempuh jarak satu mil, menyusuri dinding tebing, berpegangan pada tanaman merambat… Tak ada jalan untuk mundur ke belakang. Rasa takut yang tertinggal di belakang mendorong semua orang untuk terus maju… Satu kelompok kehilangan pijakan dan meluncur 2.000 kaki (610 meter) menuruni bukit dalam 40 menit; mereka membutuhkan waktu delapan jam untuk mendaki kembali ke titik awal mereka.” – Mayor Jenderal Herbert W. Blakeley

Ketika para prajurit itu akhirnya terhuyung-huyung ke medan Jaure yang lebih datar dan terbuka di Dataran Tinggi Managalas—kini menjadi sebuah kawasan konservasi baru yang luas—di sisi utara pegunungan tersebut, hanya seperempatnya yang siap bertempur. “Mereka benar-benar tidak keruan setelah perjalanan itu,” kata petualang dan pendaki Australia, Peter Gamgee. “Diperkirakan hanya 25% dari mereka yang benar-benar siap bertempur; kondisi mereka sangat buruk. Mereka tidak dilatih untuk berperang di hutan—atau bahkan berjalan menembus hutan; pelatihan awal mereka adalah untuk medan perang di Eropa dan mereka hanya mendapatkan sedikit pelatihan itu. Jadi mereka sangat tidak siap. Sepatu bot mereka sudah rusak saat tiba di Jaure.”  

Yang lebih buruk lagi, mars itu gagal. Tidak ada pasukan Jepang yang mendekati jalur tersebut, dan karena medannya, pasukan AS itu pun tidak bisa mendukung pasukan Australia di Jalur Kokoda. Setelah beristirahat beberapa hari di Jaure, mereka melanjutkan perjalanan ke garis depan di pesisir utara, di mana banyak yang meninggal karena penyakit atau gugur dalam pertempuran.

   Ridgetop views across the Owen Stanley Range from Papua New Guinea’s Ghost Mountain Trail. Photo by Peter Gamgee


Jalur yang terlupakan, perjuangan yang terus berlangsung

Ini adalah kisah brutal yang menunjukkan tidak hanya soal betapa tidak siapnya para prajurit tersebut menghadapi kondisi lokal dahulu, tetapi juga betapa banyak penduduk pedalaman Papua Nugini yang masih menghadapi tantangan serupa saat ini: memerangi penyakit tropis dengan sumber daya terbatas dan melintasi medan yang kasar, curam, dan berisiko untuk mencapai layanan dasar seperti perawatan kesehatan, pendidikan, atau pasar untuk tanaman dan barang-barang yang mereka produksi.

Setelah perang tersebut, Jalur Gunung Hantu itu tidak lagi digunakan. Penduduk setempat sesekali pergi ke sana untuk berburu, tetapi banyak yang menghindarinya sama sekali karena percaya tempat itu berhantu. Di awal 2000-an, Gamgee penasaran dengan jalur tersebut. “Tidak ada yang punya peta—hanya ada sedikit catatan tentangnya,” katanya. Akhirnya, ia menemukan dan menyusuri sebagian jalur tersebut pada 2009. “Saya terkesima dengan desa-desa itu, betapa terpencilnya mereka dari berbagai layanan dan hal-hal semacam itu, dan betapa mereka sangat menderita,” ujarnya.

   Villagers prepare roasted bananas over an open fire to share with hikers along Papua New Guinea’s Ghost Mountain Trail. Photo by Peter Gamgee

   Community members sing and play guitars during a gathering in a village along Papua New Guinea’s Ghost Mountain Trail. Photo by Peter Gamgee

 

“Di sisi selatan [pegunungan itu] dahulu ada pusat kesehatan masyarakat, sebelum kemerdekaan, dan sejak itu hampir lenyap,” tambah Gamgee. “Saya sendiri terdampak oleh kematian yang tidak perlu dari orang-orang yang saya kenal di daerah itu karena kurangnya pelayanan kesehatan dasar.”

Gamgee kembali pada 2011 bersama putranya untuk penjelajahan selama sebulan, dan kemudian menuliskan pengalaman tersebut dalam sebuah buku. Sejak itu, ia telah memandu beberapa kelompok pejalan di sepanjang rute tersebut. Pada 2022, ia dan tim penduduk setempat menjelajah ke luar jalur itu untuk menemukan bangkai Flying Dutchman, sebuah pesawat angkut yang jatuh di lereng gunung pada 1942 saat mengangkut orang-orang dan perbekalan ke pesisir utara PNG. “Tujuan saya bukanlah membangun jalur pendakian, melainkan untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada desa-desa terpencil itu secara mandiri dan berkelanjutan,” ujarnya.

Seperti Jalur Kokoda, Jalur Gunung Hantu juga punya potensi untuk menjadi usaha ramah lingkungan berbasis jalur pendakian yang menguntungkan, terutama bagi mereka yang tertarik dengan sejarah perang jalur tersebut. Dengan Kawasan Konservasi Managalas (MCA) yang baru dibentuk—yang dilalui jalur tersebut—kini sedang mengembangkan rencana pengelolaan yang mencakup mata pencaharian yang ramah konservasi, mungkin inilah saat yang tepat untuk memanfaatkan potensi tersebut.

“Pariwisata adalah salah satu dari beberapa rantai nilai baru potensial yang ingin kami eksplorasi untuk Managalas,” ujar Will Unsworth, manajer proyek PNG di Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), yang mendukung pengembangan MCA dengan pendanaan dari Uni Eropa. Organisasi ini telah bermitra dengan pemerintah provinsi dan Northern Province Resources Limited untuk mengembangkan rencana pariwisata di wilayah tersebut.

   Villagers prepare roasted bananas over an open fire to share with hikers along Papua New Guinea’s Ghost Mountain Trail. Photo by Peter Gamgee

Selain sejarahnya yang kaya dan budayanya yang beragam, Managalas juga merupakan rumah bagi berbagai spesies satwa liar endemik langka, termasuk Queen Alexandra Birdwing Butterfly (Ornithoptera Alexandra), kupu-kupu terbesar yang diketahui di dunia. Perpaduan kekayaan ekologi, budaya, dan sejarah ini bisa menjadi daya tarik yang kuat bagi para pelancong—menawarkan petualangan, kenangan, dan sekilas pandang soal tantangan yang dihadapi penduduk desa saat ini maupun para prajurit Divisi ke-32 pada 80 tahun lalu di Pegunungan Owen Stanley yang terjal.


Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai proyek ini, silakan hubungi William Unsworth (CIFOR-ICRAF):  w.unsworth@cifor-icraf.org 

 

The post Daya tarik kisah lama bagi para pendaki baru di Gunung Hantu Papua Nugini appeared first on CIFOR-ICRAF Forests News.

[ad_2]

Source link

More From Forest Beat

COP30: Brasil llama a un mutirão global por la acción climática,...

Foto: Rafa Neddermeyer/COP30 Brasil Amazônia/PR Si hay una palabra que Brasil quiere que el mundo aprenda antes de la COP30 de la Convención...
Forestry
6
minutes

From WWII ordeal to eco-tourism

Papua New Guinea’s Kokoda Trail, stretching from Port Moresby in the south to the village of Kokoda in the north, draws World War...
Forestry
3
minutes

AE-TPP’s 2025 Forum in Hanoi

Fellow co-convenor Bernard Triomphe, a senior researcher at the French Agricultural Research Centre for International Development (CIRAD), followed with an overview of the...
Forestry
2
minutes

10 Key Themes Shaping Brazil’s COP30 Agenda in Belém

Video promosi COP30 diputar di Konferensi Perubahan Iklim Bonn, menyoroti Belém sebagai kota tuan rumah. Brasil memposisikan COP30 di Belém, November ini, sebagai...
Forestry
4
minutes
spot_imgspot_img