
Banyak wilayah di Asia Tenggara mengalami “awal tahun yang berkabut asap“, dengan ratusan sekolah ditutup karena tingginya kadar partikel halus di udara yang membahayakan kesehatan. Fakta ini tercantum dalam laporan terbaru Keadaan Udara Global, yang menemukan bahwa polusi udara merupakan faktor utama risiko lingkungan yang menyebabkan kesehatan yang buruk di wilayah tersebut. Selain menimbulkan dampak kesehatan, kabut asap di wilayah itu—yang sebagian besar disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan, termasuk di lahan gambut yang kaya karbon—merupakan kontributor signifikan terhadap perubahan iklim.
Digelar di Jakarta, Indonesia, pada 26 November 2024, acara dialog tersebut mempertemukan para akademisi, perwakilan program, LSM, dan pemangku kepentingan lokal untuk mengeksplorasi cara meningkatkan kolaborasi lintas sektor dan memobilisasi sumber daya untuk menangani masalah kabut asap terkait lahan gambut.
Dalam pidato pembuka acara, Vong Sok—Kepala Divisi Lingkungan dan Asisten Direktur Pembangunan Berkelanjutan di Sekretariat ASEAN—menekankan pentingnya pendekatan yang inklusif dan kolaboratif. “Upaya terkoordinasi di antara negara-negara anggota ASEAN untuk memobilisasi sumber daya secara efisien adalah suatu keharusan,” kata Sok, “dan untuk mencapai pengelolaan lahan yang berkelanjutan perlu pendekatan yang melibatkan berbagai aspek, yang melibatkan pemerintah, pelaku sektor swasta, masyarakat sipil, dan masyarakat lokal.”
Sok menyoroti tantangan dalam menyelaraskan prioritas di seluruh negara anggota ASEAN antara tingkat nasional dan subnasional serta di antara berbagai pemangku kepentingan. “Setiap pemerintah memprioritaskan sumber daya secara berbeda dan tujuan sektor swasta sering kali berbeda dari tujuan masyarakat lokal,” kata Sok. “Ekosistem lahan gambut juga bervariasi, sehingga membutuhkan pendekatan yang disesuaikan.” Kolaborasi yang efektif, katanya, memerlukan penyeimbangan dinamika ini untuk mencapai hasil yang kohesif.
Sok juga mendorong para peserta untuk mengorientasikan diskusi mereka pada peluang-peluang yang ada dalam konteks yang menantang saat ini. “Pada COP29 [UNFCCC], kami belajar tentang banyaknya komitmen dan pendanaan yang tersedia bagi para anggota untuk meningkatkan aksi iklim,” kata Sok. “Ini menghadirkan peluang, karena kabut asap dan pengelolaan lahan berkelanjutan saling terkait erat dan mengatasinya dengan tepat akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap mitigasi perubahan iklim.”
Swetha Peteru, seorang ilmuwan dan koordinator MAHFSA di Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), menekankan perlunya keterlibatan yang lebih besar dari sektor swasta. “Pendanaan publik sering kali stagnan. Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, kita harus meningkatkan kontribusi finansial dari swasta,” kata Peteru.
Peteru memaparkan analisis arus keuangan dalam perlindungan keanekaragaman hayati dan pengelolaan lahan berkelanjutan, yang menunjukkan bahwa investasi awal sebesar 1,5 miliar dolar AS diperlukan pada tahun 2030 untuk mengurangi kabut asap di Asia Tenggara dan bahwa lingkungan pendukung yang sesuai sangat penting guna mencapai tujuan ini. Ia menyoroti dominasi pendanaan dari sumber publik saat ini: sumber publik mencakup 75,9% dari total pembiayaan untuk konservasi keanekaragaman hayati, sementara kontribusi swasta hanya sebesar 11,7%, terutama melalui kompensasi dan kredit. Demikian pula, pendanaan publik mendominasi pertanian, kehutanan, dan perikanan berkelanjutan, sebesar 41,4%, dengan kontribusi sektor swasta hanya sebesar 8,6%—yang sebagian besar berfokus pada rantai pasok yang berkelanjutan.
CEO Du Anyam dan Krealogi, menekankan pentingnya inisiatif ekonomi lokal dalam mitigasi kabut asap. Organisasinya bekerja sama dengan masyarakat di Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur untuk memproduksi barang-barang berbasis alam dari purun [Lepironia articulata], tanaman asli lahan gambut. “Memastikan akses pasar bagi [anggota masyarakat yang ingin menjual] produk-produk ini adalah kuncinya,” kata Ayuningtyas. “Melalui kegiatan ekonomi, masyarakat diberi insentif untuk melestarikan lahan gambut sebagai sumber daya yang berharga.”
Bradford Sanders, kepala operasi di Restorasi Ekosistem Riau, menyoroti peran lembaga swasta dalam upaya bebas kabut asap. Dia juga berbagi pengalaman dalam menstabilkan lahan gambut melalui pengelolaan kolaboratif bersama masyarakat lokal. “Lahan gambut merupakan inti dari masalah kabut asap lintas batas. Restorasi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi kabut asap dan polusi,” kata Sanders.
Ilmuwan utama CIFOR-ICRAF Daniel Murdiyarso dalam pidato penutup mengimbau para peserta untuk belajar dari peristiwa kabut asap dan kebakaran lahan gambut di masa lalu serta banyaknya penelitian dan pelaporan yang telah ada mengenai peristiwa tersebut, “sehingga kita tidak membuang-buang waktu dan sumber daya untuk melakukan hal yang sama.”
Dia juga menekankan bahwa meskipun solusi berbasis alam tidak bisa menghilangkan dampak pembakaran bahan bakar fosil, solusi tersebut dapat mendukung tujuan yang lebih luas untuk pemanfaatan lahan secara berkelanjutan. “Mari kita lihat alam sebagai mitra kita dalam hubungan bisnis dan pembangunan ini, membantu masyarakat lokal untuk menjadi bagian dari solusi tersebut,” kata Murdiyarso. “Karena jika lahan gambut dan hutan kita dirawat dengan baik dan digunakan secara bijaksana, keduanya dapat menjadi bagian dari solusi.”
Dialog diakhiri dengan komitmen untuk terus berkolaborasi guna menerapkan sembilan strategi yang diuraikan dalam Peta Jalan Kedua. Strategi-strategi ini bertujuan untuk memandu kebijakan, pendanaan, dan kemitraan, demi memastikan upaya mitigasi kabut asap yang berkelanjutan dan berdampak di seluruh wilayah Asia Tenggara.